Bayu Gojlok Bapaknya dari Atas Pentas
LHA wong dalang, kalau sudah di atas panggung, ya bisa melakukan apa saja. Termasuk menggojlok bapak sendiri. Itulah yang dilakukan dalang remaja Ki Mohammad Pamungkas Prasetyo Bayu Aji.
Pada saat pentas di Forum Selasa Legen, di rumah Ki Manteb Sudharsono, dia habis-habisan menggojlok bapaknya, Ki Haji Anom Suroto.
Kebetulan sehari sebelumnya, dalang yang kondang dengan suara kung itu berulang tahun ke-54. Ki Anom lahir pada 11 Agustus 1948. ”Ini hadiah ulang tahun dari saya kepada Bapak,” kata Bayu.
Gojlokan bertambah ramai ketika pelawak Haji Kirun, Cak Dikin, dalang senior dari Jolotundo Klaten Ki Sayoko, juga tuan rumah Ki Manteb ikut bicara. Jadilah wayangan malam itu sebagai arena olok-olokan satu dengan yang lain, terutama Ki Anom.
”Wong ki mbok kaya Pakdhe Manteb. Yen pas ora ngasta, panjenengane mesthi pilih ning ndalem, nggapiti wayang, natah, sinau sabet, sinau sanggit, lan liyane. Aja kaya Bapakku kuwi, yen ora payu tanggapan ya natah, ning natah Ibu, karo ngeluk boyok (Orang itu mestinya seperti Pakdhe Manteb-sapaan akrab Bayu kepada Dalang Setan itu. Kalau tidak ada tanggapan, dia memilih di rumah, membuat gapit wayang, menatah, belajar sabet, sanggit, dan sebagainya. Jangan seperti Bapak, kalau tidak ada tanggapan juga menatah, tapi yang ‘ditatah’ Ibu, sambil menekuk punggung),” katanya disambut tawa penonton.
Ki Sayoko menimpali, ”Bapakmu kuwi wis beja, duwe anak ngungkuli bapak. Kowe kudu pangerten, suk bapakmu wenehana gaweyan, ora ketang mung dadi tukang nggerong. Soale suk mben mesthi sugih kowe (Bapakmu termasuk beruntung, punya anak melebihi bapaknya. Kamu harus mengerti, besok Bapak harus diberi pekerjaan, meskipun sekadar penggerong. Sebab, nanti mesti lebih kaya kamu),” tuturnya.
Ungkapan itu langsung disambut Bayu, ”Sak niki mawon empun. Tapi tanggapan pirang-pirang malah mung diutangi terus kalih Bapak (Sekarang sebenarnya sudah. Namun, bayaran tanggapan berapa pun, selalu diutang oleh bapak),” ujar Bayu. Lagi-lagi penonton terbahak.
Jika suatu saat nanti dia terpaksa memberi pekerjaan bapaknya, itu juga harus menunggu, karenapenggerong yang dia miliki sudah penuh.
”Mangke kedah nengga yen wonten tukang nggerong medal setunggal, Bapak nembe mlebet. Sing penting mboten angsal gerok (Nanti harus menunggu kalau ada penggerong yang keluar satu, baru Bapak bisa masuk, yang penting tidak serak),” kata Bayu.
”Wah, yen Bapakmu iku ya mesthi gerok. Wong Bapakmu kuwi ora gerok yen nganggo bayaran. Coba, saiki kon nembang, mengko rak gerok (Wah, kalau bapakmu pasti serak, karena dia tidak serak kalau dibayar. Coba, sekarang disuruh menyanyi, pasti serak, karena tidak dibayar),” kata Kirun.
Hampir seluruh adegan Limbukan sekitar satu jam, habis untuk ”menghajar”’ Ki Anom Suroto. Yang digojlok pun hanya bisa tertawa ngakak. ”Kalau diam, berarti setuju,” kata Kirun.
Para dalang membandingkan kiprah Ki Anom dengan Bayu, yang kini memang terus meningkat kemampuan dan keterampilannya mendalang. Suara dan sabetan yang dimilikinya benar-benar memukau.
”Tinggal mengisi rasanya. Mudah-mudahan dengan proses menuju dewasa, dia bisa lebih meningkatkan rasa dan nges pada saat memegang wayang. Kalau itu dimiliki, dia akan lahir sebagai dalang sempurna,” kata Kirun.
Sebagai dalang muda, Bayu diangap memiliki bekal komplet. Sabetan bagus, suara juga oke. Jarang ada dalang memiliki bekal komplet. Biasanya, jika suaranya bagus, sabetannya kurang oke. Begitu sebaliknya. ”Karena itu, kalau jadi nanti, dia akan sangat hebat,” tambahnya
Ki Anom Suroto
Ki Anom Suroto adalah seorang dalang Wayang Kulit Purwa. Ia mulai terkenal sebagai dalang sejak sekitar tahun 1975-an. Ia lahir di Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu Legi 11 Agustus 1948. Ilmu pedalangan dipelajarinya sejak umur 12 tahun dari ayahnya sendiri, Ki Sadiyun Harjadarsana. Selain itu secara langsung dan tak langsung ia banyak belajar dari Ki Nartasabdo dan beberapa dalang senior lainnya.
Dalang laris itu juga pernah belajar di Kursus Pedalangan yang diselenggarakan Himpunan Budaya Surakarta (HBS), belajar secara tidak langsung dari Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PDMN), Pawiyatan Kraton Surakarta, bahkan pernah juga belajar di Habiranda, Yogyakarta. Saat belajar di Habiranda ia menggunakan nama samaran Margono.
Pada tahun 1968, Anom Suroto sudah tampil di RRI (Radio Republik Indonesia), setelah melalui seleksi ketat. Tahun 1978 ia diangkat sebagai abdi dalem Penewu Anon-anon dengan nama Mas Ngabehi Lebdocarito. Tahun 1995 ia memperolah Satya Lencana Kebudayaan RI dari Pemerintah RI.
Ki H. Anom Suroto selain aktif mendalang, ia juga giat membina pedalangan dengan membimbing dalang-dalang yang lebih muda, baik dari daerahnya maupun dari daerah lain. Secara berkala, ia mengadakan semacam forum kritik pedalangan dalam bentuk sarasehan dan pentas pedalangan di rumahnya Jl. Notodiningratan 100, Surakarta. Acara itu diadakan setiap hari Rabu Legi, sesuai dengan hari kelahirannya, sehingga akhirnya dinamakan Rebo Legen. Acara Rebo Legen selain ajang silaturahmi para seniman pedalangan, acara itu juga digunakan secara positif oleh seniman dalang untuk saling bertukar pengalaman. Acara itu kini tetap berlanjut di kediamannya di Kebon Seni Timasan, Pajang, Sukoharjo. Di Kebon seni itu berdiri megah bangunan Joglo yang begitu megah dalam area kebon seluas 5000 M2.
Hingga akhir abad ke-20 ini, Anom Suroto adalah satu-satunya yang pernah mendalang di lima benua, antara lain di Amerika Serikat pada tahun 1991, dalam rangka pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di AS). Ia pernah juga mendalang di Jepang, Spanyol, Jerman Barat (waktu itu), Australia, dan banyak negara lainnya. Khusus untuk menambah wasasan pedalangan me-ngenai dewa-dewa, Dr. Soedjarwo, Ketua Umum Sena Wangi, pernah mengirim Ki Anom Suroto ke India, Nepal, Thailand, Mesir, dan Yunani.
Di sela kesibukannya mendalang Anom Suroto juga menciptakan beberapa gending Jawa, di antaranya Mas Sopir, Berseri, Satria Bhayangkara, ABRI Rakyat Trus Manunggal, Nyengkuyung pembangunan, Nandur ngunduh, Salisir dll. Dalang yang rata-rata pentas 10 kali tiap bulan ini, juga menciptakan sanggit lakon sendiri antara lain Semar mbangun Kahyangan, Anoman Maneges, Wahyu Tejamaya, Wahyu Kembar dll.
Bagi Anom Suroto tiada kebahagiaan yang paling tinggi kecuali bisa membuat membuat senang penontonnya, menghibur rakyat banyak dan bisa melestarikan kesenian klasik.
Anom Suroto pernah mencoba merintis Koperasi Dalang ‘Amarta’ yang bergerak di bidang simpan pinjam dan penjualan alat perlengkapan pergelaran wayang. Selain itu, dalang yang telah menunaikan ibadah haji ini, menjadi pemrakarsa pendirian Yayasan Sesaji Dalang, yang salah satu tujuannya adalah membantu para seniman, khususnya yang berkaitan dengan pedalangan.
Dalam organisasi pedalangan, Anom Suroto menjabat sebagai Ketua III Pengurus Pusat PEPADI, untuk periode 1996 – 2001.
Pada tahun 1993, dalam Angket Wayang yang diselenggarakan dalam rangka Pekan Wayang Indonesia VI-1993, Anom Suroto terpilih sebagai dalang kesayangan.
Anom Suroto yang pernah mendapat anugerah nama Lebdocarito dari Keraton Surakarta, pada 1997 diangkat sebagai Bupati
Sepuh dengan nama baru Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Lebdonagoro.
Ki Nartosabdo (alm)
Nama : NARTOSABDO
Lahir : Klaten, Jawa Tengah, 25 Agustus 1925 (pn 7 Oktober 1985)
Agama : Islam
Pendidikan :
* Standaard School Muhammadiyah
* Akademi Seni Karawitan Indonesia, Solo
Karir :
* Pembuat seruling
* Pengantar susu
* Pengusaha wayang kulit
* Pemain Group Wayang Orang Ngesti Pandowo
* Pemimpin Grup Wayang Orang Ngesti Pandowo
* Dalang. Lagu-lagu keroncong dan langgam ciptaannya antara lain: Swara Suling, Ibu Pertiwi, Cluntang Binangun, Glopa-glape, Turi-turi Putih, Lumbung Desa, Lesung Jumengglung, Saputanganmu, Ayo Praon, Aja Lamis, dan Tahu-tahu Tempe
Ki Anom Suroto
Lahir di Juwiring, Klaten tahun 1948 dan belajar dalang sejak 6 tahun dari ayahnya sendiri Ki Sadiyun Harjadarsana, selain juga dengan beberapa dalang senior lainnya baik langsung ataupun tidak langsung.
Pernah ikut kursus pedalangan yang diselenggarakan Himpunan Budaya Surakarta, belajar tidak langsung dari Pasinaon Dalang Mangkunegaran dan juga Habiranda, Yogyakarta.
Tahun 1968, Anom Suroto sudah tampil di RRI setelah melalui seleksi yang ketat. Tahun 1978 beliau diangkat sebagai Panewu Anon-anon dengan nama Mas Ngabehi Lebdocarito dan tahun 1995 menerima Satya Lencana Kebudayaan.
Secara berkala beliau mengadakan sarasehan dirumahnya dijalan Notodiningratan 100, Surakarta. Beliau satu-satunya dalang yang sudah menjelajah di 5 benua untuk mendalang.
Tahun 1997 beliau diangkat sebagai Bupati Sepuh dengan nama KRT Lebdonagoro, juga pernah aktif di Pegurus Pusat Pepadi untuk periode 1996-2001 sebagai Ketua III.
Ki Hadi Sugito
Kreativitas seni Ki Hadi Sugito memang harus diakui signifikansinya; dan dari kreativitas seni yang dimiliki itulah muncul berbagai ungkapan yang membuat kekhasan dalam beroleh seni. Kalau punakawan seperti Gareng dan Petruk sering ndhagel kiranya hal itu sudah biasa, demikian juga dengan tokoh pewayangan yang berkarakter “celelekan” seperti Dursasana dan Buriswara; tetapi tentu saja tidak untuk tokoh pewayangan yang berkarakter “serius” seperti Arjuna, Werkudara dan Abimanyu. Tetapi di tangan Ki Hadi Sugito, semua tokoh pewayangan yang berkarakter “serius” pun bisa ndhagel, guyonan, bahkan membanyol. Arjuna, Werkudara, Abimanyu, Adipati Karna, Duryudana, Kunthi, Wara Sembadra, Drupadi, Utari dsb, semuanya bisa mengocok perut penontonnya.
Ki Manteb Sudharsono
Adalah seorang dalang Wayang Kulit Purwa yang mulai terkenal sejak tahun 1980-an. Ia berasal dari daerah Ndoplang, Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Surakarta. Sebagai dalang, Manteb Sudharsono terkenal dengan sabetan-nya. Saking piawainya dia memainkan boneka wayang dengan segala variasi dan kelincahannya dia dijuluki Dalang Setan oleh para penggemarnya. Kalau sedang memainkan trik sabetan dengan cepat dan terampil layaknya sebagai tukang sulap.
Ki Enthus Sumono
Lahir pada Selasa Legi, tanggal 21 Juni 1966 di Desa Dampyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Ia adalah anak satu-satunya Soemarjadihardja, dalang wayang golek terkenal di Tegal, dengan istri ketiga yang bernama Tarminah.Sejak berumur 5 tahun ia telah sering mengikuti pentas ayahnya. Oleh karena itu ia sangat akrab dengan dunia pedalangan. Kesukaannya menggambar, menatah dan mewarnai (nyungging) wayang kulit menghasilkan karya pertama tokoh Indrajid, yang dikerjakan pada saat ia duduk di kelas IV SD. Setelah sekolah di SMP Negeri 1 Tegal (1979-1981) ia mulai menekuni karawitan secara metodik, yang diasuh oleh dua orang guru keseniannya, Mawardi dan Prasetyo. Ketrampilannya menabuh gamelan itu kemudian digunakan untuk melatih rekan-rekan di SMA Negeri 1 Tegal (1982-1985), yang semula tidak pernah mendapat kegiatan ekstrakurikuler karawitan karena tidak mempunyai grup musik yang merupakan kolaborasi antara karawitan dan band.
Ki Purbo Asmoro
Banyak penggemar yang mananyakan nama aslinya pada berbagai kesempatan berjumpa. Padahal nama aslinya atau nama kecil pemberian orang tuanya ya Purbo Asmoro itu. Lahir di Pacitan, 17 Desember 1961. Tinggal di Gebang, Kadipira, Surakarta. Seorang dalang Wayang Kulit Purwa yang mulai terkenal sejak tahun 1990-an. Keahliannya diwarisi dari ayahandanya yang juga seorang dalang.
Ki Warseno Slenk
Lahir di Klaten, 18 Juni 1965. Ki Warseno atau yang juga dikenal dengan sebutan Warseno Slank adalah dalang muda yang sedang naik daun. Ia adalah adik Ki Anom Suroto.Dosen Universitas Tunas Pembangunan Surakarta yang S2 UGM Jurusan Ilmu Pemerintahan. ini belajar mendalang sejak duduk di kelas V SD. Berani tampil mendalang ketika umur 16 tahun. Kemampuannya itu berkat didikan orang tuanya yakni Ki Harjadarsana yang juga merupakan seorang dalang terkenal di Juwiring kabupaten Klaten Jawa Tengah (tahun 1950-1975). Disamping itu ia pernah belajar pedalangan selama dua semester di STSI Surakarta. Dia mengakui, gaya pakelirannya pada awalnya mengikuti gaya Ki Anom Suroto. Namun ia tidak sekedar menjadi bayang-bayang ketenaran kakaknya. Secara kreatif dia bisa menemukan ciri khas gaya pakelirannya yang komunikatif dan selalu dekat dengan kalangan muda yang cenderung hura-hura atau slengekan. Suka mengkolaborasikan berbagai musik etnis dan Barat. Ki Warsena banyak melakukan eksperimen kreatif dengan memadukan beberapa aliran musik seperti rock, punk, rap yang dipadukan dengan gamelan. Hasilnya adalah musik gamelan yang kolaboratif yang digandrungi kawula muda. Wayang Campursari.
Ki Timbul Hadi Prayitno
Ki Timbul Hadiprayitno atau kini M.W Timbul Cermo Manggala tergolong dalang paling senior dan masih aktif sampai sekarang. Lahir di desa Jenar, Bagelan, Purworejo pada tahun 1932. Darah seni dan bakatnya mendalang harus diakui tidak datang secara tiba-tiba, meskipun jelas dari garis keturunannya.
0 komentar:
Posting Komentar